Review film rumah merah putih : alur cerita yang melebar namun menghibur dengan membawa situasi dan kondisi daerah perbatasan

rumah merah putih

Setelah vakum selama 5 (lima) tahun , maka di tahun 2019 ini Alenia Pictures kembali mempersembahkan film Rumah Merah Putih, dengan inti kisah rasa cinta anak-anak terhadap negara Indonesia di daerah perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste.

Ide cerita menarik , dan merupakan awal “trilogi perbatasan” kisah manusia yang hidup di daerah perbatasan. Jika tiada aral melintang, maka project selanjutnya , daerah perbatasan yang akan digarap adalah di Papua dan Kalimantan.

Menarik untuk diperhatikan, pemain anak-anak dalam film ini, ternyata adalah para pemain baru asal dari NTT. Sebutlah nama Petrick Rumlaklak yang berperan sebagai Farel Amaral dan Amori De Purivicacao yang berperan sebagai Oscar Lopez. Kemudian ada juga penampilan pendatang baru Dicky “Beatbox” Tatupikalawan sebagai Oracio Soares, yang menampilkan dirinya melakukan beatbox , saat berdialog dengan anak-anak ataupun penduduk sekitar. penampilannya memberikan keunikan dan kesegaran tersendiri. Adapun Petrick Rumlaklak dan Amori De Purivicacao , menampilkan akting mereka yang sederhana, namun dapat dinikmati melalui layar bioskop, karena mereka berperan sebagai diri mereka sendiri , anak-anak yang menikmati bebasnya alam dan kehidupan di NTT dengan aneka persoalan dan tingkah polah anak-anak. Peran orang dewasa dapat dikatakan hanya sebagai pelengkap penderita belaka, mengingat semua dialog, tindakan hingga pemikiran berdasarkan pola pemikiran anak-anak. Persoalan yang dihadapi juga diselesaikan dengan sudut pandang anak-anak, oleh sebab itulah banyak hal-hal yang menjadi bahan senyum dan tetawa orang dewasa yang menonton, tingkah laku mereka seolah mengingatkan penonton dewasa, akan masa kecil mereka.

Penekanan pada rasa kebangsaan Indonesia, yang diwujudkan pada pewarnaan bangunan dengan warna merah putih. Saat ada satu warna yang hilang, tentunya tak akan dapat digantikan dengan warna yang lain, karena warna tersebut merepresentasikan warna bendera negara Indonesia.

Sampai disini ide ceritanya menarik, dan alur cerita berjalan lancar , namun saat Oscar Lopez terjatuh dan perlu pengobatan, tanpa sadar ide cerita melebar kemana-mana, terlihat saat dalam film ada adegan-adegan ala dialog orang dewasa yang membahas proses pembuatan paspor, anak-anak yang tak ingin berpisah dengan Oscar hingga banyak hal lainnya yang terasa janggal . Seolah cerita ini ditulis oleh dua orang yang berbeda dan masing-masing penulis ingin menunjukan jati dirinya, dan bukan dituliskan oleh satu orang saja yaitu Jeremias Nyangoes.

Sangat disayangkan, seandainya penulis tetap memfokuskan untuk menulis dari sudut pandang dan dialog anak-anak, tentunya konsistensi tetap dapat dipertahankan. Namun sebagai film yang membahas kehidupan di perbatasan, situasi dan kondisi daerah perbatasan cukup dapat tersampaikan pada penonton dan beberapa adegan mampu mengundang isak tangis dan gelak tawa penonton.

Alenia Pictures , dikenal memang sebagai rumah produksi yang senang memproduksi film-film dengan tema –  tema anak-anak dengan lokasi di daerah timur Indonesia, sehingga karyanya sangat orisinil menampilkan iklim budaya dan dialog-dialog khas daerah timur.

Sebutlah terhitung dari awal film Denias, Senandung di Atas Awan (2006) ; dilanjutkan dengan Liburan Seru! (2008), King (2009), Tanah Air Beta (2010), Serdadu Kumbang (2011), Di Timur Matahari (2012). Leher Angsa (2013), Seputih Cinta Melati (2014) ; Alenia Pictures tetap konsisten dan selalu menampilkan sesuatu yang berbeda dari film-film anak-anak Indonesia pada umumnya.   Film Rumah Merah Putih ini, terinspirasi atas dasar kisah nyata yang terjadi di Nusa Tengara Timur, dan proses syuting dilakukan di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Utama, hadir menemani anak-anak di liburan sekolah tahun 2019 ini. (Nuty Laraswaty)

Sumber: Cinemags

Facebooktwitterredditpinterestlinkedintumblrmail