Review Film X-Men: Dark Phoenix

Sebagai salah satu franchise film superhero besar, X-Men terbukti masih memiliki banyak aspek yang bisa digali untuk membuat franchisenya tetap segar walaupun X-Men: Apocalypse dinilai banyak kalangan tidak sebagus installment sebelumnya, X-Men: Days of Future Past. Hal ini bisa dilihat dari pelbagai serial televisi yang memiliki universe yang sama hingga ke proyek-proyek spinoffnya.

Sungguhpun demikian,tetap saja performa Apocalypse yang kurang memenuhi harapan, sempat menimbulkan pertanyaan akan ke mana arah pergerakan cerita saga intinya ini akan mengalir, meski sudah tersiar kabar bahwa kisah lanjutannya kemungkinan besar bakal bersetting era 1990an. Sebelum akhirnya tanda tanya itu terjawab dengan X-Men: Dark Phoenix ini. Dari judulnya saja, mudah ditebak bahwa fokus utama kali ini menyoroti karakter Jean Grey – yang dalam versi New Class dimainkan oleh bintang serial Game of Thrones, Sophie Turner.

  Awalnya mengusung judul produksi Supernova, film keduabelas franchise X-Men ini kisahnya bersumber pada Dark Phoenix Saga, event komik X-Men karya Chris Claremont. Babak kali ini akan mengeksplor transformasi Jean Grey menjadi Dark Phoenix. Kisahnya sendiri sama halnya dengan setting-setting dua film X-Men generasi baru berikutnya, bergulir sepuluh tahun setelah event di Apocalypse pasca Jean Grey terpaksa melepas kekuatan penuh kemampuan mutannya untuk membantu rekan-rekan setimnya mengalahkan En Sabah Nur.

Berusaha mempersembahkan finale yang memorable, Simon Kinberg, salah satu figure sentral di belakang layar franchise X-Men harus menelan ludah. Upaya perdananya  menyutradarai saga X-Men menuai hasil tidak sesuai harapan. Awalnya, Kinberg berusaha menjadikan Dark Phoenix sebagai upaya memberikan angin segar sekaligus mengembalikan kualitas saga X-Men yang merosot. Namun, perkembangan situasional diakuisisinya Fox oleh Disney, serta merta menjadikan installment ke-12 X-Men ini –mau tidak mau- sekaligus babak finale X-Men era Fox sebelum saganya kemungkinan besar akan direset ulang sebagai bagian MCU. Dan memang harus diakui, kesan ending yang dipaksakan sangat terasa di sini.

Hal ini dikarenakan, storyline yang dipilih Kinberg bisa dikatakan tergolong beresiko tinggi. Pasalnya, meski notabene memiliki opsi sangat luas dan banyak alternatif pilihan dalam menentukan storyline bagaimana yang diinginkan, Kinberg malah mengedepankan egonya ‘memupus kekecewaan pribadinya’  atas penuangan Dark Phoenix Saga oleh Brett Ratner di X-Men: The Last Stand. Sebuah langkah yang tidak perlu sejatinya, mengingat X-Men: The Last Stand kualitasnya paling kurang berhasil di antara keseluruhan trilogi X-Men pertama, dan mungkin dirasa sebagai langkah salah sampai-sampai timelinenya diapus melalui Days of Future Past.

Menariknya, Fox mendukung langkah itu, bahwa Dark Phoenix adalah chapter yang harus mereka kedepankan. Boleh jadi, pilihan ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa bukan tema utamanya yang salah, namun treatmentnya. Kinberg sendiri berusaha memastikan bahwa hasil adaptasi Dark Phoenix yang sekarang jauh lebih loyal, bukan hanya sekadar interpretasi bebas seperti yang dilakukan Ratner di The Last Stand.

Sesuai janjinya, meski menyandang rating PG-13, Dark Phoenix dituangkan Kinberg lebih serius dan kelam bahkan sejak menit pertamanya saat menguak masa kecil fokus karakter babak X-Men kali ini. Terasa benar sang sineas berusaha menjauhkan diri dari penyajian X-Men: Apocalypse yang lebih ringan dan agak mengulur durasi, dengan tidak berlama-lama menggulirkan plot dan konflik utama cerita: bagaimana transformasi Dark Phoenix itu sendiri dan dampak terhadap karakter-karakter lainnya atas perubahan itu.

Awalnya, Kinberg mampu menghadirkan adegan pembuka yang menjanjikan. Sayangnya, bisa jadi disebabkan kualitas naskah yang memang tidak memadai atau ingin menghadirkan aspek yang berbeda dengan kepingan saga ini sebelumnya, memasuki paruh kedua ia mulai tergelincir dalam menggulirkan storyline yang ingin disampaikannya. Untuk lebih mengeksplor karakter Dark Phoenix, Kinberg memilih jalur drama ketimbang aksi yang membuat storyline overall berjalan dengan tempo yang lambat.

Pergulatan kompleksitas karakter Jean yang harus ia giring menuju titik klimaksnya sepertinya menjadi faktor sang sineas kewalahan dalam membagi highlight dengan karakter-karakter penting lainnya. Akibatnya, meski dari segi porsi adegan tidaklah kurang dan juga sudah berusaha maksimal, tetap terasa kurang meyakinkan. Sebaliknya, bagi yang jeli atau sudah mengikuti saga ini sedikit banyak akan mendapati inkonsistensi khususnya dalam hal penokohan beberapa karakternya ataupun situasi universenya.

Salah satu aspek yang mengurangi kenikmatan menonton adalah tokoh antagonis utamanya yang dituangkan menjurus setengah matang. Meski dapat dimaklumi keberadaannya untuk menggenjot porsi aksi di bagian klimaksnya, penokohan kurang jelas mengenai motivasi dan latar belakangnya, membuat penggunaan aktris kaliber nominator Oscar Jessica Chastain agak tersia-siakan dan rasanya mudah dilupakan. Andai saja Kinberg lebih berani, semisal tokoh ini dihilangkan dan lebih menonjolkan entitas Dark Phoenix sebagai karakter abu-abu yang absolut, boleh jadi storylinenya akan lebih sulit diduga.

Yang juga membedakan Dark Phoenix dengan installment-installment X-Men era New Class sebelumnya adalah di segi pendekatan musiknya. Tidak dijumpai tembang hits lawas sukses yang diakomodir menjadi highlight menggugah perasaan audiensnya. Tidak hanya itu, entah karena pertimbangan apa, tema musik X-Men malah dihilangkan dan diganti oleh Hans Zimmer dengan musik berbeda jauh, yang membuat Dark Phoenix out of tone dengan para pendahulunya tersebut.

Sementara, untuk adegan aksinya, sebenarnya eksekusi Kinberg malah tergolong apik, dan bahkan adegan klimaksnya jauh lebih baik dibanding Apocalypse, namun apa lacur perjalanan menuju ke sana membutuhkan perjuangan lebih, dan akibatnya sedikit terlambat untuk menyelamatkan mood audiensnya terhadap hasil arahannya ini. Adegan aksi yang ada — meski tak menawarkan sesuatu yang baru namun masih bisa dibilang spektakuler — menjadi terkesan hambar, dan tidak istimewa. Efek visual yang cenderung kasar juga menodai kinerja sang sineas dan timnya di aspek ini.

Faktor penting yang sayangnya juga dihilangkan adalah kurang tebalnya layer “konfrontasi” antara kaum manusia dengan para mutan, yang biasanya menjadi karakteristik menonjol X-Men. Malah sebaliknya, umat manusia di bumi digambarkan sudah menerima keberadaan para mutan dengan tangan terbuka, dan malah mengeluk-elukkan mereka, aspek yang selama ini tidak dijumpai sebelumnya.

Kelemahan-kelemahan ini pula yang menyebabkan penampilan para pemainnya menjadi tidak seapik biasanya. Untuk kaliber nama-nama besar yang sudah ada sejak babak pertamanya, tiga nama terdepannya, Mc.Avoy –Fassbender- J. Lawrence bisa dikatakan tidak tampil sebaik dulu, sementara suksesor mereka, Sophie Turner – Tye Sheridan – dan darah muda lainnya, masih belum meyakinkan.

Secara keseluruhan, sebenarnya apa yang dilakukan Kinberg di Dark Phoenix tidak sampai mencapai tahapan buruk sekali, terutama untuk ukuran film rilisan musim panas. Toh terbukti, film sekuel ini berhasil mencapai raihan yang lumayan komersial. Namun apabila dirunut sejak film X-Men New Class pertamanya dari segi mutu dan kualitas, sebagai sekuel dan juga babak finale harus diakui apa yang disajikan Kinberg adalah sebuah penurunan, dan semakin menambah daftar film babak finale yang menjadi antiklimaks dari keseluruhan franchisenya. Jika dibandingkan dengan formula sukses film superhero masa kini, apa yang dihasilkan Kinberg juga terasa ketinggalan zaman. Jika saja ini dirilis di era 1990an, atau satu dekade sebelumnya, niscaya apresiasi yang lebih melegakan akan dituai.

Sumber: Cinemags

Facebooktwitterredditpinterestlinkedintumblrmail