Ulasan Film: The Curse of Weeping Woman

Jika ranah film superhero dikuasai oleh MCU, maka di kancah film horor rasanya tidak ada yang bisa menyangkal bahwa The Conjuring Universe (TCU) adalah penguasanya. Mengawali sepak terjangnya pada tahun 2013 lewat dramatisasi aksi kisah nyata duo cenayang religius Ed dan Lorraine Warren, James Wan beserta para kolaboratornya sukses menorehkan pencapaian yang impresif dengan sajian-sajian lanjutannya.

Akibatnya mudah ditebak, walaupun jika mau dihitung sang mastermind hanya membidani dua film awalnya saja dan selebihnya ia hanya memproduseri, kepingan-kepingan TCU selalu sukses menarik animo tinggi dan nyatanya terbukti komersial, walaupun kalau mau ditelaah lebih seksama formula yang dikedepankan tidak hanya satu –dua kali diangkat dan tema jalan ceritanya tidak terlalu istimewa. Tidak terkecuali rilisan paling bungsunya, The Curse of Weeping Woman ini.  Berkisah tentang perjuangan survival menghadapi entitas jahat yang menyasar anak-anak kecil, sedikit banyak apa yang disajikan di sini mungkin akan mengingatkan para penikmat horor pada Mama, film horor garapan Andy Muschietti yang premisnya kurang lebih sama.

                Di sini, Wan kembali bertindak sebagai produser sedangkan bangku penyutradaraan diduduki oleh Michael Chaves, penata spesial efek kolaboratornya di The Conjuring universe yang kini beralih membidani film layar lebar. Adapun kisahnya, dengan setting era 1970an mengetengahkan perjuangan seorang ibu muda berprofesi sebagai petugas kesejahteraan sosial anak dalam menyelamatkan dua buah hatinya dari hantu Wanita Menangis yang mengincar mereka.

Memiliki judul asli The Curse of La Llorona dan sebelumnya sempat mengusung judul The Children, Wan sepertinya makin menyadari bahwa bumbu horor dengan unsur budaya eksotis adalah paduan pas. Apalagi formula ini terbukti cukup mumpuni saat diterapkan di kepingan Conjuring universe lainnya, yakni Annabelle Creation dan The Nun. Adapun, kali ini yang dikedepankan adalah La Llorona, yang merupakan salah satu figur urban legend paling populer sepanjang masa di daratan Amerika dan dunia (meski pada kenyataannya tidak familier di Asia dan juga tanah air –red), yang kerap diceritakan pada anak kecil agar mereka tidak berkeliaran di malam hari maupun bermain di aliran air berbahaya.

              Sebagai paket horor, khas Conjuring Universe, apa yang disajikan, lumayan mampu menghibur para audiens penyuka kisah horor. Sebagaimana film horor pada umumnya, The Curse of La Llrona sangat mengandalkan rangkaian adegan jump scare yang beberapa di antaranya terbukti efektif, suara keras pintu yang berderit, dan beragam bunyi-bunyian yang ditujukan untuk mengganggu benak penontonnya. Meski, jika ditelaah lagi, sebenarnya ada aspek subplot potensial mengenai tema penyiksaan anak yang sayangnya tidak tereksplorasi akibat kualitas skrip yang ada. Akibatnya, seperti disinggung di awal paragraf ini, apa yang dikedepankan ibarat hanya sekadar menyuguhkan sajian horor hiburan semata.

Untungnya, skrip yang pada kenyataannya lemah ini dapat diakali oleh sineas Michael Chaves lewat penyajiannya, yang bisa dikatakan membuktikan kapasitasnya mengapa ia dipercaya James Wan sebagai suksesornya di The Conjuring 3. Adapun, elemen paling menarik dan kuat di sini hadir lewat perkenalan terhadap tokoh Rafael Olivera, mantan pendeta yang kemudian menjadi pengusir hantu ala Meksiko dengan ritual eksorsismenya yang unik. Melalui karakter inilah Chaves bisa menggelontorkan humor-humor lumayan segar yang mampu memancing tawa penonton. Sementara itu, sebagai ujung tombak utama, Linda Cardellini tidak tampil mengecewakan.

               Dengan durasi 90 menit, kesabaran Chaves dalam memaparkan storyline membuat pace hasil garapannya ini menjadi agak lambat. Namun, untungnya dalam mengeksekusi aura horor yang dibutuhkan, sang sineas yang merupakan ‘anak didik’ James Wan, mampu menatanya dengan lumayan impresif.

Secara general, The Curse of La Llorona memiliki seluruh amunisi untuk menjadi sebuah filmm horor yang brilian dengan tampilan sinematografi dan arahan yang apik. Sayangnya, kualitas naskah menjadi permasalahan signifikan. Meski demikian, bagi para penyuka universe The Conjuring, dan mengingat bagaimana Wan selaku otak di balik universe sinematik ini mampu menjalin keterkaitan signifikan antara kepingannya dalam metode yang jauh dari perkiraan namun tidak terasa dipaksakan, The Curse of La Llorona sayang dilewatkan begitu saja.

Sumber: Cinemags

Facebooktwitterredditpinterestlinkedintumblrmail