Review Film Scary Stories to Tell in the Dark

Sejak menggebrak lewat film horor berjenis found footage berjudul Trollhunter dan makin membuktikan kapasitas dirinya sebagai penyuguh film horor kontemporer lewat besutan berikutnya, The Autopsy of Jane Doe, nama sineas asal Norwegia, Andre Ovredal menjadi salah satu nama baru harapan genre horor Hollywood masa kini. Meski masih belum sebesar reputasi nama baru lainnya, seperti James Wan, Jordan Peele, Andy Muschietti, John R.Leonetti, Scott Derrickson, maupun Ari Aster, tidak bisa dipungkiri bagi kalangan pengamat dan penikmat genre horor, sepak terjang selanjutnya dari Ovredal cukup mengundang animo besar.

Terlebih, kali ini Ovredal berkolaborasi dengan sineas visioner Guillermo del Toro yang sudah lebih dulu menorehkan namanya sebagai penghasil film horor kontemporer berkualitas. Sedangkan, materi yang digarap juga sudah memiliki reputasinya tersendiri, yakni Scary Stories To Tell In The Dark.

Walaupun di kalangan penonton tanah air mungkin masih belum terbilang familier, perlu diinformasikan Scary Stories To Tell In The Dark bukanlah perihal yang asing dalam dinamika literasi horor dunia. Hasil dari buah pikiran Alvin Schwartz berupa kumpulan cerita horor pendek yang kemudian ia tuangkan dalam seri buku berjumlah total tiga jilid ini sejak dirilis pertamakali pada tahun 1981 menjelma menjadi karya yang populer pun kontroversial. Hal ini berkenaan dengan kontennya yang meski ditujukan untuk pangsa anak-anak namun berisikan muatan kekerasan dan hal-hal tak pantas lainnya.

Untuk versi penuangan layar lebarnya, storylinenya menceritakan upaya sepasang remaja yang berlomba dengan waktu menghentikan serangkaian teror supranatural. Dengan setting sebuah kota kecil bernama Mill Valley, tiga sahabat: Stella-August-Chuck memanfaatkan momen Helloween untuk melakukan pembalasan pada Thomas dan komplotannya. Dalam proses melarikan diri, ketiga sahabat itu berkenalan dengan pemuda berdarah Meksiko bernama Ramon. Dari situ, keempat remaja ini mendatangi rumah kosong dan secara tidak sengaja malah memicu kebangkitan teror supranatural yang kemudian menghantui mereka dan harus mereka hentikan.

Agak disayangkan dengan mengedepankan premis yang lumayan klise dan sebenarnya sudah banyak dijumpai di banyak film horor lainnya, khususnya yang mengedepankan tema upaya sekelompok remaja menghentikan teror supranatural yang tidak sengaja mereka bangkitkan, Ovredal dan timnya terkesan kerepotan memberikan fondasi latar kisah yang kuat. Seperti dalam hal memberikan informasi yang cukup pada audiens mengenai reputasi urban legend lokal yang ingin dikedepankan, yang imbasnya membuat pemicu motivasi para remaja mendatangi TKP tidak sesolid film-film lainnya.

Untungnya, hal itu tertutup dengan pengeksekusian adegan lanjutannya. Penuangan porsi horornya sendiri lumayan tertata apik. Meski tidak memberi terobosan penceritaan atau inovasi baru pada genre horor, penyampaian sumber adaptasinya dapat hadir dengan baik dan signifikan dalam menggerakkan kisahnya. Audiens yang familier dengan sumber adaptasinya pasti akan puas dengan penuangan judul-judul paling populer semacam Harold, The Big Toe, The Red Spot, maupun Me Tie Dough-ty Walker!

Kredit lebih juga layak diberikan, karena sang sineas tidak menitikberatkan pada adegan sadis berlebihan, yang senantiasa diterapkan di banyak film horor lain. Ada beberapa momen di film yang mampu mencapai apa yang dalam film horor disebut sebagai momen “takut-takut senang.”

Walaupun tidak diperkuat oleh satupun nama besar di jajaran daftar pemainnya, jajaran pemainnya dapat melakoni perannya dengan lumayan baik meski performa mereka harus diakui sangat terbantu dengan visual horor yang kentara dijadikan fokus utamanya. Secara overall walaupun tidak seinovatif yang disuguhkan sebelumnya oleh sang sineas, konstruksi Scary Stories lumayan menghibur dan rasanya mudah dinikmati meski audiens tidak mengetahui sama sekali dengan materi adaptasi yang menjadi sumbernya.

Sumber: Cinemags

Facebooktwitterredditpinterestlinkedintumblrmail