Review Film Hobbs and Shaw

Seri Fast & Furious makin mengikuti jejak saga-saga besar seperti X-Men, Star Wars, maupun Shrek, dengan menelurkan kisah spin-offnya. Yang menjadi fokus utamanya sekarang adalah tokoh Hobbs dan Shaw. Inilah persembahan paling gres sineas David Leitch, yang sebelumnya angkat nama lewat film aksi John Wick yang dibesutnya bersama Chad Stahelski maupun Deadpool 2.

Menariknya, kehadiran spinoff ini pemicu utamanya bukan sebatas sambutan apik para fansnya dari karakter menarik di saga induknya, tapi buntut dari ketegangan yang di balik layar yang terjadi antara Dwayne Johnson dan Vin Diesel di seri Fast & Furious terdahulu, yang membuat Johnson enggan terlibat di installment kesembilannya.

Padahal, sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak muncul pertama kali di Fast Five, karakter Hobbs bukan hanya menjadi pelengkap semata namun menjadi sosok yang cenderung dominan di babak lanjutan saga ini seterusnya. Pun juga dengan karakter Deckard Shaw, yang awalnya muncul sebagai tokoh antagonis namun kemudian menjadi tokoh pendukung yang simpatik.

Lebih jauh lagi duet ini punya potensi komersial tinggi untuk dipasangkan merunut pada interaksi perkenalan satu sama lain di saga induknya. Perkembangan chemistry antara dua karakter inilah yang kemudian coba dieksplor lebih lanjut lagi oleh Leitch.

Tentu saja Leitch dan timnya menambah instrumen-instrumen baru. Antara lain Hattie; karakter keempat dari keluarga Shaw, tokoh antagonis yang hadir lewat sosok Brixton; salah satu rekan dari kehidupan masa lalu Deckard, dan konflik berupa perebutan virus berbahaya yang bisa membawa kerusakan berskala global.

Mengusung formula layaknya sebuah buddy cop film, daya tarik utama film ini tidak pelak adalah chemistry di depan layar antara Johnson dan Statham saat meneruskan peran sama yang mereka mainkan. Dan, memang aspek itulah yang terasa benar dieksploitasi oleh Leitch.

Hasilnya, meski notabene pada dasarnya adalah proyek spinoff, Hobbs and Shaw lumayan terasa fresh dan kisahnya mampu berdiri sendiri bak sebuah standalone project. Sampai-sampai, andaikata tidak menyaksikan saga induknya pun rasanya tidak terlalu mengganggu. Namun, jika ingin lebih mendalami lagi bagaimana terbangunnya chemistry antara keduanya, ada baiknya untuk menelusuri kembali dengan menyaksikan tiga installment Fast & Furious terakhir.

Tanpa kehadiran Dominic Toretto dan krunya, meski sebenarnya apa yang diketengahkan di sini notabene klise dan tak jarang dijumpai di film-film bertema aksi spionase, namun untuk ukuran pendamping saga Fast & Furious, Hobbs and Shaw bisa dibilang mampu memberikan napas alternatif yang baru, melalui storyline, karakter, dan tema yang disajikannya.

Didukung oleh penampilan lumayan apik dari jajaran pemainnya, meski tetap menitikberatkan pada chemistry humor antara keduanya dan kadar aksi spektakuler menjurus absurd khas saga induknya, salah satu nilai lebih yang layak dicatat adalah adanya suntikan dimensi lebih yang diberikan Leitch beserta timnya di sini. Belum lagi kejutan berupa dua cameo bernama besar yang ikut ambil bagian di sini, beberapa easter egg, dan adegan pertarungan unik dengan setting eksotis, adalah kekuatan-kekuatan positif yang dimiliki film arahan terbaru Leitch ini. Untuk hal ini bisa dibilang, sang sineas mampu membuktikan pernyataannya untuk memberi warna dan rasa berbeda di sini.

Melalui Hobbs and Shaw, meski jika merunut ulang jejak filmografi David Leitch mungkin akan merasa bahwa ini bukanlah karya terbaiknya, sang sineas secara keseluruhan mampu menyuguhkan kisah sampingan saga Fast & Furious yang fondasinya lumayan solid. Namun, hal ini tidak pelak  menimbulkan spekulasi lanjutan menarik tersendiri. Akan bagaimana nantinya kelanjutan saga ini ke depannya dan pengaruhnya pada saga induknya? Apakah akan ada garis tengah yang bisa menyatukannya ataukah satu sama lain justru akan saling mematikan? Apapun jawabannya nanti, yang jelas Hobbs and Shaw is a cheerful addition to the F&F family and a must see for the fans!

Sumber: Cinemags

Facebooktwitterredditpinterestlinkedintumblrmail