Meskipun masih terbilang underrated di ranah Hollywood, lebih dari satu dekade ke belakang, film-film Korea Selatan mampu menembus pasar internasional mendahului Jepang dan Hong Kong. Sebutlah nama-nama seperti Park Chan-wook, Kim Jee-woon, dan yang kini semakin santer terdengar; Bong Joon-ho merupakan sedikit dari sutradara Korea yang dilirik Hollywood. Dibandingkan dengan drakor (Drama Korea), film-film indie karya beberapa sutradara Korea “auteur” ini lebih suka mengisahkan pribadi-pribadi yang memiliki konflik dengan inner demon mereka sendiri. Old Boy, I Saw the Devil, Thirst, The Wailing, Train to Busan, hanyalah beberapa judul yang melibatkan plot dan karakter semacam itu, tidak jarang pula kita temui kebrutalan realita di dalamnya yang tidak seindah drakor.
Baru-baru ini, Bong Joon-ho seakan menohok para pemimpi drakor dengan film terbarunya yang menampilkan dua sisi kelas sosial berpatok dari keluarga Ki Taek dan keluarga Park serta kenyamanan hidup mereka yang serba bertolak belakang. Emosi audiens dibangun sejak awal untuk berpihak ke keluarga Ki Taek yang semuanya pengangguran. Asam manis keluarga yang terdiri dari empat orang ini digambarkan dengan kondisi rumah mereka yang terletak di semacam basement, menonton orang kencing dan muntah di luar jendela sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, bahkan mereka harus berada di sebelah kaskus WC untuk dapat mencuri sinyal wifi, kenyataan-kenyataan yang dihadapi ‘orang susah’ dan jarang diekspos di film, di tampilkan untuk ditertawakan alih-alih ditangisi.
Meski hidup berkekurangan, keluarga tersebut digambarkan kompak, terutama untuk urusan mencari uang dan tipu-menipu. Suatu hari, Ki-woo, anak lelaki Taek, diberikan kesempatan bekerja sebagai guru les Da-hye, anak perempuan keluarga Park, dari detik itulah tipu muslihat digencarkan. Dengan modal ijazah palsu dan membual, Ki-woo berhasil mengelabuhi nyonya rumah keluarga Park dan seterusnya menciptakan upaya-upaya licik agar semua anggota keluarganya dapat bekerja di rumah itu. Rangkaian upaya licik pun berjalan sukses hingga mengubah nasib mereka, namun teror tak terduga muncul dari bawah basement rumah keluarga Park yang seketika membuat film ini berubah menjadi menegangkan –tanpa kehilangan unsur komedi.
Gaya plot berawal komedi menuju twist berujung tragis bukanlah hal baru yang dapat kita temukan film Korea ‘sakit’ pada umumnya. Tentunya ini adalah sesuatu yang telah diekspektasikan audiens yang akrab dengan film-film bergenre sejenis. Namun yang membuat penulis tidak bosan saat menontonya adalah sindiran-sindiran sosial menyentil dan perbandingan situasi antara dua keluarga yang begitu jomplang. Sepertinya juga baru kali ini sebuah film Korea menampilkan scene banjir di suatu perkampungan sudut kota Seoul. Selain memainkan emosi audiens secara naik turun, sinematografi filmnya juga terbilang apik. Adanya unsur drama, komedi, tragedi, horror, thriller-psikologi, membuat film ini sulit dimasukan ke genre tertentu.
Setiap karakter memiliki porsi yang sesuai, kebolehan akting Kang-ho Song, aktor langganan Bong jon-hoo, pemeran Taek, tidak perlu dipertanyakan lagi. Tanpa harus mengucapkan kata-kata, audiens seakan sudah dapat menerka tabiatnya. Akting Myeong-hoon Park sebagai orang gila juga betu-betul creepy.
Sayangnya, menjelang ending film, beberapa detail tampak terasa kurang pas, contohnya reaksi spontan Taek menusuk Mr. Park yang sangat impulsif (bisa dimaklumi karena ini dipicu oleh rasa tersinggung yang terakumulasi), tapi seharusnya ada alasan yang lebih kuat untuk dramatisasi emosionil semacam itu. Pengiriman sandi morse yang kelewat panjang sebagai upaya Taek menyurati Ki-woo lewat udara juga secara nalar impossible dan terlampau dreamy. Seseorang tidak segampang itu menyadari panggilan kode di waktu tertentu dan berdiri berjam-jam demi menerima kode yang kelewat panjang (surat).
Tema ketidakadilan kelas bukanlah topik baru yang dialamatkan sang sutradara, sebelumnya tema ini juga ditonjolkan di Snowpiercer dengan akhir destruktif bagi keseluruhan kelas. Film Parasite sedikit mengingatkan penulis kepada film adaptasi karya Harold Pinter berjudul The Servant (1963), keduanya mengisahkan penipuan yang dilakukan kalangan bawah, serta gambaran mental kedua kalangan tersebut secara kontras, juga digambarkan bagaimana si kaya yang serba gampang mendapatkan sesuatu jarang menggunakan otaknya, sedangkan si miskin didorong insting survival-nya memanipulasi si kaya, tidak ketinggalan eksplorasi sisi norak si miskin berpura-pura menjadi orang kaya, saat penghuni rumah pergi. Bedanya, dalam the Servant, si miskin berjaya secara amoral, sedangkan dalam Parasite satu-satunya solusi bagi keluarga Ki Taek hanya bisa diatasi dengan sesuatu yang secara satir, bersifat kesuksesan materi.
Sumber: Cinemags